Minggu, 25 September 2022

Sepintas ttg asta Belingi dan Nyamplong

 [https://images.app.goo.gl/F1jMZzj8SCsFqdtW8



23/9 21.17] Ludfi: Jejak Sejarah Sapudi, Salah Satu Pusat Pemerintahan Sumenep

 Nama Sapudi mulai dikenal dalam sejarah, saat Ario Pulangjiwo, seorang pemegang kuasa di Pamekasan di era menjelang kemunduran Majapahit, dipindah tugaskan ke pulau ini. Dalam sejarah Sumenep, Ario Pulangjiwo dikatakan penguasa Islam di Pulau Sapudi. Secara genealogi, Ario Pulangjiwo masih merupakan putera Sayyid Ali Murtadla, saudara kandung Sunan Ampel, Denta, Surabaya.


“Ario Pulangjiwo selanjutnya dikenal dengan nama Panembahan Walinge atau Wlinge alias Balinge atau Blingi. Beliau sejaman dengan Pangeran Ario Saccadiningrat II, Raja Sumenep. Dalam kisah babad, maupun beberapa literatur sejarah tentang Sumenep maupun Madura, keduanya dikisahkan berbesanan. Putera tertua Pulangjiwo, Ario Baribin atau Bribin menikah dengan Raden Ayu Saini. Ario Baribin ini di Sumenep lebih dikenal dengan panggilan Adipoday. Sedangkan Raden Ayu Saini lebih dikenal sebagai Pottre Koneng. Keduanya lantas berputra 2 orang, Joko Tole, dan Agus Wedi,”kata salah seorang pemerhati sejarah di Sumenep, R. Aj. Rabiatul Adawiyah pada News Room.


Menurut Rabiatul, setelah mangkatnya Saccadiningrat II pada tahun 1386 Masehi, Adipoday menggantikan kedudukan mertuanya. Namun, beliau justru kembali ke Sapudi berkumpul dengan ayahnya. Karena ayahnya, Panembahan Blingi masih hidup, Sumenep dikuasakan pada beliau.


“Baru setelah ayahnya meninggal tahun 1399 M, Adipoday secara resmi menjadi Raja Sumenep dengan bergelar Panembahan Poday alias Panembahan Wirokromo. Pusat pemerintahan tetap di Sapudi. Sementara di Sumenep sendiri, diwakili oleh Joko Tole,”jelas Rabiatul.


Rabiatul menambahkan, Panembahan Poday dikenal dengan kebiasaan dzikirnya. Setiap siang dan malam tangannya senantiasa memegang tasbih. Tasbih tersebut diceritakan berasal dari buah Nyamplong atau Camplong.


Oleh karena itu, beliau memerintah rakyatnya, terutama para alim-ulama di Sapudi dan santri-santri, agar menggunakan tasbih dari buah Nyamplong.


“Akhirnya rakyat Sapudi beramai-ramai menanam pohon Nyamplong. Tujuan awal dan utamanya untuk mendapatkan biji Nyamplong. Namun, lama-kelamaan, karena kayu Nyamplong ternyata sangat kuat, maka mulailah rakyat disana

[23/9 21.23] Ludfi: memanfaatkannya sebagai bahan utama membuat pekakas perahu. Bahkan hingga kini, kayu Nyamplong masih dipakai orang terutama untuk kemudi dari perahu-perahu di kepulauan Madura,” imbuhnya.


Bahkan, Nyamplong dijadikan nama Desa tempat Keraton Panembahan Poday berdiri. Desa tersebut juga sekaligus menjadi lokasi makam Panembahan Poday, sehingga kemudian dikenallah nama “Panembahan Nyamplong”, “Keraton Nyamplong”, dan “Asta Nyamplong”, yang kesemuanya merujuk pada Panembahan Poday.


“Makam Panembahan Poday hingga kini keramat, dan sejak masa lampau selalu diziarahi orang-orang di Pulau Madura, dan daerah-daerahh pesisir di Jawa Timur,”tutup Rabiatul. ( Farhan, Esha )


Tidak ada komentar:

Posting Komentar